Tahun Pertaruhan Pendidikan Indonesia
Oleh: Dr. Muhdi, SH., M.Hum.
(Ketua Pengurus Provinsi PGRI Jawa Tengah dan Ketua YPIA SD Supriyadi Semarang)
TAHUN 2019 dan 2020 adalah tahun pertaruhan bagi Bangsa Indonesia sekaligus pertaruhan pendidikan di negeri itu. Setelah melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI dan DPD RI, serta DPRD Provinsi dan Kab/Kota secara serentak, hasilnya juga menjadi pertaruhan bagi pendidikan Indonesia ke depan.
Potret pendidikan Indonesia yang belum menggembirakan bisa dilihat dari hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan 3 Desember 2019. Skor Indonesia tergolong rendah karena berada pada peringkat ke-74 dari 79 negara atau urutan ke-6 dari bawah. Posisi ini menurun dari pemeringkatan sebelumnya pada 2015 yang berada pada peringkat 64 dari 72 negara atau urutan ke-8 dari bawah.
Maka pada saat Mendikbud Nadiem Makarim melakukan gebrakan pada reformasi pendidikan dengan memulai mengeluarkan kebijakan pendidikan, layak kita tunggu eksekusinya atau bagaimana implementasinya, sehingga mampu mencapai hasil sebagaimana visi Presiden Jokowi khususnya dan tujuan pendidikan pada umumnya, yang selanjutnya dapat mengantarkan Bangsa Indonesia sebagai negara maju yang sejahtera, adil, dan makmur.
Pidato Mendikbud Nadiem Makarim dalam Hari Guru Nasional 2019 dan pernyataan- pernyataan yang disampaikan dalam berbagai kesempatan, termasuk pernyataan bahwa selama 20 tahun pola pendidikan Indonesia belum banyak berubah, menggambarkan evaluasi pendidikan yang selama ini telah berlangsung.
Nadiem Makarim menyampaikan bahwa hingga saat ini pola pendidikan yang belum banyak berubah adalah menguasai materi sebanyak-banyaknya dan mengingat fakta. Padahal dunia memerlukan manusia yang mampu beradaptasi, berkolaborasi, dan memiliki kreativitas. Sekarang kompetensi merupakan hal utama, diikuti berbagai keterampilan baik teknis, kognitif, dan keterampilan lunak seperti empati, kreativitas, kemampuan berkomunikasi, dan kolaborasi, bahkan yg sangat penting kemauan untuk terus belajar dan berkarya.
Hingga dalam pidato upacara HGN menyebutkan, ”Guru tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.” Itulah yang hingga saat ini menggeser bagaimana seorang guru seharusnya melakukan pembelajaran yang baik tetapi karena hasil ujian terlebih pada mata pelajaran yang di-UN-kan menjadi ukuran keberhasilan bagi pemangku kepentingan, maka pembelajaran lebaih diarahkan pada bagaimana menghasilkan nilai ujian setinggi-tingginya.
Semua itu lebih fokus pada upaya penguasaan materi sebanyak-banyaknya, dan menjawab soal, bukan kemampuan bernalar, yang dapat menghasilkan peserta didik kreatif dan inovatif, serta tidak memperhatikan pembentukan sikap dan kepribadian yaitu percaya diri, disiplin, adaptif, komunikatif, kolaboratif yang sangat dibutuhkan dunia kerja.
Maka Mendikbud menyatakan, ”Guru ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan. Guru frustrasi karena guru tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.
Guru tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagamaan sebagai prinsip dasar birokrasi. Guru ingin setiap murid terinspirasi, tetapi guru tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi,” menjadi begitu menghentak, apalagi disampaikan oleh Nadiem Makarim, Mendikbud baru dengan cara dan gaya yang baru dan lugas, apalagi pada saat masyarakat pendidikan lebih bersikap wait and seedan harapan publik terhadap Mendikbud baru datar-datar saja.
Dengan demikian maka rendahnya capaian pendidikan kita selama ini lebih banyak disebabkan oleh regulasi yang memaksa guru harus memenuhi tuntutan, terutama kurikulum dan UN/USBN.Sehingga kebijakan Merdeka Belajar dan Guru Bergerak mampu mengubah harapan publik tentang pendidikan menjadi lebih baik.
Kebijakan Mendikbud tentang pendidikan merdeka belajar dengan 4 program pokok meliputi (1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), (2) Ujian Nasional (UN), (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan (4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), merupakah arah pembelajaran ke depan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan SDM.
USBN akan dikembalikan menjadi evaluasi hasil belajar peserta didik sebagai hak guru dan UN yang selama ini disamping untuk pemetaan juga untuk evaluasi hasil belajar, bahkan kalau mau jujur UN sampai saat ini justru lebih dijadikan indikator keberhasilan belajar siswa sebagai individu, diubah menjadi hanya untuk pemetaan saja melalui evaluasi satuan pendidikan dan program pendidikan dengan Asesesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter (SK).
Hal tersebut berarti bukan menghapus UN tetapi mengganti UN dengan AKM dan SK yang akan dimulai 2021. AKM akan fokus pada menguji kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi).
Sedangkan SK adalah penguatan pendidikan karakter. Pelaksanaan ujian tersebut dilakukan tidak setiap akhir jenjang pendidikan melainkan dapat diselenggarakan di tengah jenjang pendidikan.
Terkait dengan kebijakan perubahan USBN dengan Ujian Sekolah yang dikembalikan kepada guru dan sekolah, sudah dapat dilakukan mulai 2020 bagi yang sudah siap, bentuknya berupa portofolio, penugasan, tes tertulis, dan/atau bentuk kegiatan lain yang ditetapkan satuan pendidikan sesuai dengan kompetensi yang diukur berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.
Kebijakan penyederhanan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang cukup membebani guru sewajarnya dilakukan, sebagaimana Surat Edaran No 14 /2019 tentang Penyederhanaan RPP, dimana Penyusunan RPP dilakukan dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada murid.
Selanjutnya dari 13 komponen RPP yg selama ini berlaku cukup 3 komponen inti saja yakni tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran yang wajib dilaksanakan guru dan selelebihnya sebagai pelengkap. Sehingga tidak saja mengurangi beban guru tetapi juga memberikan kemerdekaan dalam melaksanakan pembelajaran.
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang setiap tahun memicu masalah, diantaranya dengan kebijakan zonasi yang berlaku, membuat calon peserta didik berprestasi tidak dapat diberi kesempatan memilih sekolah yang diminati, dikalahkan oleh jarak rumah yang lebih dekat sekalipun prestasinya jauh dibawahnya.
Sekalipun diberi kesempatan namun sangat kecil prosentasenya, sehingga dirasakan tidak adil. Apalagi harus disadari bahwa di Indonesia, kualitas, sarana prasara, dan guru masih terdapat kesenjangan. Disamping itu keberadaan sekolah terutama sekolah menengah belum tersebar secara merata di setiap wilayah.
Apapun kebijakan pendidikan yang diterapkan akhirnya terpulang pada guru, sehingga sebenarnya apa yang dikatakan Mendikbud bahwa tugas Presiden padanya adalah mberesin pembelajaran dan guru, pada hakekatnya adalah mberesinguru, yaitu membuat guru kapabel dalam melakukan pembelajaran dan guru sejahtera. Guru sejahtera berarti mempunyai status yang jelas/pasti, mendapat penghasilan yang layak, dan terlindungi.
Apabila pidato Mendikbud lalu benar-benar ditindaklanjuti dengan membuat guru dan peserta didik merdeka belajar, dengan mengeluarkan kebijakan yang diimplementasikan, deregulasi kebijakan yang tidak sesuai dan membebani guru, penuhi kebutuhan guru dengan guru tetap dan penghasilan yang layak, berikan pelatihan guru secara berkelanjutan, kurangi beban administrasi guru, penuhi sarpras di setiap sekolah untuk mengimplementasikan merdeka belajar, birokrat pendidikan melayani guru dan siswa, maka reformasi pendidikan dibawah Nadiem Makarim tidak mustahil akan memperoleh hasil yang menggembirakan, peluang bonus demografi dapat dimanfaatkan, dan Indonesia maju dapat diraih. (ay)
Artikel asli pernah dimuat di koran Suara Merdeka, rubrik Berita Utama , Tanggal 26 Desember 2019.
1 COMMENT
Like!! I blog quite often and I genuinely thank you for your information. The article has truly peaked my interest.